Relevansi Perbankan Syariah dengan Sosio-Kultur

 


Oleh Asep Iskandar

Perkembangan ekonomi syariah tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosio-kultur masyarakat, sebagai tempat sistem ekonomi syariah itu berada dan berkembang. Memang, dimensi ekonomi dan dimensi sosial dapat dibedakan, namun tidak mungkin dipisahkan. Kebutuhan ekonomi merupakan bagian dari naluri manusia dalam rangka mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Begitu juga, aspek sosio-kultur juga sesuatu yang hakiki bagi kehidupan.

Pada umumnya, sistem ekonomi bukan lahir dengan sendiriya, melainkan buah dari proses interaksi yang evolusioner dari sebuah komunitas, misalnya ekonomi liberal lahir dari sebuah komunitas yang berideologi liberal pada abad ke-16. Demikian pula, sistem ekonomi sosialis lahir dari sebuah kmunitas yang mencoba mencari alternative karena adanya ketimpangan implikatif dari sistem liberal.

Berbeda dengan kedua sistem ekonomi diatas (liberalis dan sosialis), ekonomi Islam tidak lahir dari evolusi dari sebuah komunitas, tetapi bersumber langsung dari wahyu Ilahi (Allah) yang diturunkan kepada seluruh komunitas dunia. Misi yang diemban sistem ini adalah memberikan kemaslahatan lahir dan batin bagi seluruh manusia dan alam semesta. Jika demikian, ini berarti bangunan sosiologis mendahului terbentuknya sistem ekonomi syariah yang dimulai pada abad ke-6 masehi, juga harus disikapi secara selektif, bil-hikmah dan Islami.

Perlu dipahami secara bijak bahwa sistem ekonomi syariah diturunkan bukan untuk memberangus potensi-potensi kehidupan yang sudah ada, melainkan untuk memberikan “renaisans” atau pencerahan kehidupan agar mengarah ke shiraathal mustaqiim keluar dari ghairil maghduubi ‘alaihim. Islam akan memberika kemashlahatan hidup dengan menjauhkan segala kemudaratan bagi semua umat manusia. Dengan demikian, praktek-pratek dagang yang pernah ada atau masih berlangsung katika Islam diturunkan tidak serta-merta dieliminasi atau diganti dengan model bergaya yang pure Islami.

Praktek-praktek dagang yang shih dipertahankan, bahkan diperagakan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. sebelum “dinobatkan” sampai setelah diangkat menjadi Rasullah SAW., yaitu menjadi saudagar yng sukses, jujur, visioner, kreatif , dan transparan, yang tidak hanya menekankan pendekatan keuntugan, tetapi lebih mengutamakan pendekatan proses, kemitraan, dan ta’aawun.  Sebaliknya, pola prilaku perdagangan yang tidak shih terus dieliminasi dan dinyatakan tidak sesuai dengan syariah seperti riba, maisir, gharar, tadhris, iktikar, dan tindakan batil lainnya.

 Menurut Abdullah Alwi Hasan, berbagai kontrak jual beli yang terjadi pada masa Rasullah SAW, merupakan hasil dari proses penyerapan tradisi yang berjalan pada masa itu dan mendapat penyesuaian dengan wahyu, baik Alquran dan assunah. Lebih jauh lagi, Sunnah Rasul telah mengatur berbagai alat transaksi dan theory of exchange and theory of venture (teori pertukaran dan teori percampuran) yang melahirkan berbagai istilah teknis ekonomi syariah, antara lain al-uqud, al-murabahat, al-musarakat, al-mudarabat, dan lain sebagainya.

Adanya relasi-relasi sistem ekonomi yang ada dengan sistem ekonomi Islam telah melahirkan sejumlah pandangan dikalangan mazhab ekonomi Islam.

1.      Mazhab iqtishad,

Mazhab yang dipelopori oleh Muhammad Baqir As-Sadr. Dalam bukunya Iqtishaduna (ekonomi kita), menegaskan tidak ada kompromi dan kolerasi antara sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi konvensional karena secara hakikat dan filosofis, keduanya sangat kontradiktif. Ekonomi Islam harus dibangun berdasarkan Alquran dan Assunah, dan tidak ada kolerasinya dengan teori-teori ekonomi dunia yang konvensional itu.

2.      Mazhab mainstream ,

Mazhab ini antara lain dipelopori oleh Umar Chapra yang menyatakan bahwa sistem ekonomi konvensional tidak serta merta harus dibuang karena didalamnya banyak terdapat hal-hal yang relevan dengan sistem ekonomi Islam. Pendekatan akomodatif dan selektif dianggap penting selama tidak kontradiktif dengan syariah Islam.

3.      Mazhab kritis.

Mazhab yang dipelopori oleh timur Kuran yang mengkritisi kedua mazhab sebelumnya. Menurutnya, sistem ekonomi islam dan sistem ekonomi konvensional harus dikritisi karena ekonomi Islam berbeda dengan ajaran Islam yang selalu benar. Semua teori ekonomi apapun belum tentu kebenarannya sehingga harus selalu diuji dan dikritisi, termasuk ekonomi Islam.

Pada saat ini memosisikan ekonomi Islam ditengan belantara sistem-sistem ekonomi konvensional merupakan satu diantara sejumlah masalah yang masih menyelimuti sistem ekonomi Islam ditanah air. Realitas-objektifnya menyatakan masih banyak praktisi ekonomi syariah (bank syariah) ditransformasi dari “rumah” yang konvensional  setelah dilakukan proses-proses “modifikasi” dan “pemolesan” sana-sini. Bukan hanya Sumber Daya Insani-nya (SDI), melainkan produk-produknya pun berupa modifikasi dari yang konvensional dikondisikan dengan frame syariah.

 Akhirnya, tidak sedikit terjadi “penampakan” berupa profil dan performance-nya tampak sangat syariah, tetapi substansinya tidak bisa terlepas dari pengaruh konvensional. Belum lagi, yang terkondisikan oleh sistem yang “demam syariah” akibat booming ekonomi syariah dengan dipengaruhi oleh teori ekonomi yang harus merebut pangsa pasar secepat mungklin makaterjadilah perilaku simbolistik, yang penting berbaju seolah syariah maka wajar jika muncul prediksi-prediksi yang cenderung mengabaikan iradah Tuhan.

Nilai Ilahiah merupakan sesuatu tyang bersifat transcendental yang menduduki posisi tertinggi dalam praktek ekonomi syariah, sebagai tepat penyadaran segala bentuk aktivitas ekonomi yang melebihi rasio yang diagung-agungkan dalam sistem-sistem lainnya. Sementara sejumlah prinsip, anatara lain profesionalitas, akuntabilitas, responsibilitas, prediktibilitas,visibilitas,tranparansi, dan seterusnya memiliki banyak kesamaan dengan  ekonomi Islam, bahkan aplikasinya lebih jauh kemajuannya dalam sistem-sitem konvensional.

Dengan mencermati fenomena tersebut, semakin tampak perlunya pendekatan secara multidimensional terhadap ekonomi syariah. Tentunya, sangat tidak proposional jika hanya dipandang dari sudut ilmu ekonomi dengan sejumlah indicator yang hanya bermuara pada upaya memenuhi target-target market,meraih keuntungan semaksimal mungkin, serta meraih kesempatan seluas-luasnya.

 Pertumbuhan ekonomi syariah yang tergambar saat ini menampakkan kecenderungan satu arah, yaitu pada pengembangan institusional yang menempatkan seolah-olah praktek ekonomi syariah hanya terpusat pada adanya institusi ekonomi syariah, yaitu atara institusi ekonomi syariah dan nasabah atau sebaliknya, dan/atau dengan institusi lainnya. Secara historis,kecenderungan ini sebenarnya tidak seperti yang dicontohkan oleh Rasullah SAW. yang ketika itu lebih banyak dilakukan secara perseorangan dan kerja sama antar-perseorangan, seperti ketika Nabi Muhammad bermitra dengan Khadijah.

Dampak langsung dari kecenderungan tersebut adalah ekonomi syariah seolah-olah tidak mengatur praktek ekonomi secara individual, tidak perlu berurusan dengan institusi ekonomi (Bank/LKS). Pelaku ekonomi seperti ini hampir tidak terkena sentuhan teori ekonomi syariah. Padahal, jumlah mereka jauh lebih banyak terutama disektor real dan golongan ekonomi menengah kebawah.

 Baca Juga : Hukum Jual Beli Inden